Minggu, 26 Februari 2012

Menembus Hambatan Kultur Memperkenalkan Pertanian Organik

MAYORITAS penduduk Indonesia petani dan lahan pertanian membentang luas di negeri ini, tapi hingga kini impor pangan terus berlangsung. Salah satu masalah terbesar sektor pertanian ialah ketergantungan petani pada pengusaha dan pemerintah. Ketersediaan dan harga benih dan hasil panen menjadi pusaran masalah yang menjebak petani, belum lagi gempuran produk impor.

Sebagai anak seorang petani, Muhammad Farid Ma'ruf, yang merupakan sarjana akuntansi lulusan STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta, menemukan masalah yang membelit keluarga dan warga desanya itu ketika secara terpaksa ia turun ke sawah. Ia lalu menawarkan solusi, yakni pertanian organik.

Saat pulang kampung ke Desa Ngagel, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Farid menjadikan kegiatan bertani sebagai pengisi waktu saat menganggur seusai lulus kuliah pada 1999. Namun, ia kemudian menemukan serentetan masalah. Harga pupuk mahal, lahan mulai tidak subur hingga anjloknya harga komoditas pertanian.

Berbekal sepetak lahan sawah milik orang tuanya, Farid mencoba bereksperimen. Ia mencari terobosan baru di bidang pertanian, membudidayakan tanaman padi organik.

Langkah itu tidaklah mudah sebagaimana dibayangkannya. Keterbatasan pengetahuan pertanian serta kultur petani di daerahnya yang sangat bergantung pada pupuk kimia membuat langkahnya tidak mudah.

Padahal, di saat yang sama, tingkat kesuburan sawah juga makin menurun.

Terbentur kultur

Pria lajang kelahiran 4 Juli 1977 ini mantap beralih ke pertanian organik pada 2001. Namun, langkah Farid tidak mudah, ia berhadapan dengan alam yang telah lunglai dan kultur yang tidak bersahabat.

Ia lalu menimba ilmu pertanian pada para ahli. Berawal dari lahan kurang dari 1 hektare, ia memperkenalkan pertanian organik. Pendekatan kembali ke alam itu dilakukannya mulai dari aktivitas pengolahan lahan, pencarian benih hingga pemupukan yang mengandalkan kotoran serta air seni hewan.

Cibiran dan ejekan dari para petani lain bermunculan karena langkahnya tentu tak populer. Jika sejak beberapa tahun terakhir petani lokal mulai mengandalkan traktor untuk mengolah lahan, Farid memilih kembali mencangkul.

Alasannya, mencangkul dapat membalikkan tanah hingga membunuh hama sekaligus mengembalikan hara. "Traktor hanya mencongkel dan tidak membalikkan tanah," kata Farid.

Ketika petani lain mulai antre di distributor ataupun koperasi unit desa (KUD) untuk membeli pupuk urea, Farid malah keluar masuk peternakan warga. Ia membeli kotoran sapi ataupun kambing untuk pemupukan sawahnya seharga Rp100 ribu per kendaraan pikap. Untuk benih, ia memilih melakukan pembenihan tersendiri.

"Hari gini masih menggunakan pupuk kandang." Ejekan itu bergema di telinga Farid setiap berpapasan dengan petani lain. Namun, bagi Farid yang banyak menimba ilmu dari petani kaum Samin di Sukolilo, Pati, ejekan itu menjadi sumber motivasi.

Bukti panen

Hasil panen Farid kemudian menjadi bukti telak. Berat gabah yang dipanennya melampaui angka rata-rata.

"Pertanian organik lebih menguntungkan, karena selain menjaga kesuburan tanah juga secara perhitungan lebih murah," kata Farid.

Selanjutnya, ketika para petani mulai melirik, Farid melakukan langkah kompromis. Agar petani yang sudah terbiasa dengan sistem pertanian kimia mau bersentuhan dengan teknik organik, Farid Ma'ruf mengupayakan jalan tengah. Ia memperkenalkan pengolahan lahan semiorganik, mengurangi ketergantungan penggunaan pupuk kimia.

Jika biasanya 250 kilogram pupuk urea digunakan untuk 1 hektare, kini dikurangi menjadi 150 kilogram. Selebihnya, menggunakan pupuk dari air seni sapi.

Terobosan itu ternyata membuahkan hasil, secara berangsur-angsur petani mulai meninggalkan bahan kimia. Terlebih, teknik semiorganik itu hasilnya juga cukup menggembirakan, panen gabah yang diperoleh 10 ton per hektare.

Kini setelah petani sepenuhnya hijrah ke sistem organik, panen kian berlimpah hingga 11,3 ton per hektare, jauh melampaui perolehan dengan sistem konvensional yang rata-rata 6-7 ton, Farid lalu menggagas kelompok tani Omah Tani dan Serikat Petani Pati untuk mengampanyekan tanaman padi organik. Farid berupaya mendorong petani untuk mau belajar, targetnya jelas, kesejahteraan.

"Petani pada umumnya tidak kreatif karena keterbatasan pendidikan dan pengetahuan, mereka baru mengikuti jika sudah ada contoh yang berhasil, maka saya memulai memberikan langkah itu," kata Farid.

Untuk mengusir hama, kata Farid, jika biasanya petani menggunakan pestisida, ia menggunakan bawang dan empon-empon. Bahkan, hama seperti wereng dibasmi dengan menggunakan predator alami, laba-laba. Hasilnya ternyata cukup ampuh.

Kini gelombang sistem organik kian kencang, makin banyak petani yang penasaran dan belajar. Sedikitnya 20 hektare pertanian organik dan 200 hektare lahan semiorganik tersebar di Pati. (M-2) - Media Indonesia

Biodata

Nama: Muhammad Farid Ma'ruf
Tanggal lahir: 4 Juli 1977
Pendidikan: Jurusan Akuntansi STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta
Pencapaian: Mendirikan Kelompok Tani Omah Tani dan Serikat Petani Pati



Tidak ada komentar:

Posting Komentar