Kamis, 19 April 2012

DPR Tailor, Tarifnya Cuma Goceng

Jika Anda membeli celana ternyata terlalu panjang atau longgar, singgah saja ke ‘DPR (Dibawah pohon Rindang) Tailor’ di taman sisi Jalan Manggarai Utara I, Jakarta Selatan.

Di sana sedikitnya ada 16 penjahit kaki lima yang mangkal di bawah pohon. Siapa sangka keberadaan mereka sejak tahun 1970-an. Bahkan beberapa penjahit ‘senior’ pilih pensiun pulang kampung sementara usahanya diwariskan ke anak atau kerabatnya.

Pukul tujuh pagi mereka sudah siap terima order hingga menjelang maghrib. Dengan bekal satu unit mesin jahit genjot, setiap harinya mereka bisa mengantongi minimal Rp. 50 ribu.


“Sekarang mesin genjot, dulu saya masih pake yang diputar tangan,” ungkap Pariman (62) asal Kebumen, Jawa Tengah yang sudah mangkal sejak pertengahan tahun 1980. Pariman boleh dibilang sesepuh para penjahit kaki lima yang umumnya berasal dari Kebumen itu.

Meskipun mereka disebut tukang jahit, namun kemampuannya terbatas. “Biasanya mendekin celana, ngecilin, pasang resleting dan nambal yang sobek,” papar Pariman yang sanggup membiayai kehidupan istri dan tujuh anaknya di kampung dari hasil jual jasa seperti ini.

Lima anaknya lulus SMA, dua lagi masih sekolah. “Itu anak saya juga, dia ikutan jadi tukang jahit,” ujar kakek bercucu empat ini menunjuk seorang pemuda yang sedang sibuk pasang resleting tas panggung.

Pariman sengaja memboyong putranya untuk melanjutkan usaha tersebut. Pengalamannya selama ini, selain bisa memberikan penghidupan bagi keluarga, dia juga bisa punya sawah dan tanah lumayan luas. “Semua dari hasil genjot di sini,” ungkap pria yang bisa dapat Rp. 200 ribu di hari Sabtu dan Minggu ini.

Soal ongkos jasa vermak, umumnya mereka tidak memiliki patokan harga. Tergantung tingkat kesulitan dan jenis bahan. “Dulu sih, tahun 80-an kalau cuma mendekin celana, dikasih gopek (Rp. 500) kita udah seneng, sekarang minimal goceng (Rp. 5000). Tapi ada juga yang datang pake mobil, suka ngasih gocap (Rp 50 ribu),” papar Pariman.

Sepintas, jasa jahit pinggir jalan ini hanya diminati kalangan menengah bawah, faktanya dari kalangan berada pun banyak yang membutuhkan jasa mereka. Di hari biasa, sesekali mobil keluaran terbaru parkir di sana Menjelang lebaran, kawasan itu semakin ramai dengan jejeran kendaraan roda dua dan empat.

Sore itu seorang wanita paruh baya turun dari Honda CRV-nya menenteng kantong kresek berlabel salah satu mall ternama. Dia ingin memendekkan celana jeans milik putrinya yang enggan turun dari mobil. “Nanti malam mau dipakai, kalau di sini bisa ditunggu, hasilnya juga lumayan,” ujar wanita itu.

Jono, putra Pariman yang kebetulan terima order dari wanita itu tampah sumringah setelah kerjaannya kelar. Menurut dia, kalau yang datang naik mobil biasanya tidak tanya-tanya dulu berapa ongkosnya. “Nah, begitu sudah kelar baru dia tanya. Saya bilang terserah aja deh mau kasih berapa. Biasanya dikasih dua puluh ribu,” cerita Jono yang diberi Rp. 30 ribu oleh wanita tadi hanya untuk kerjaan memendekkan celana jeans.

Biasanya mereka panen rejeki di penghujung bulan puasa atau jelang Lebaran. Bahkan di H-3, mereka terpaksa tolak order lantaran ‘overload’.

Dihari-hari biasa, menurut Tarsono, penjahit junior yang baru tiga tghaun mangkal, dapat lima konsumen saja sudah beruntung. Tapi di bulan puasa, apalagi menjelang lebaran, konsumen yang datang berlipat-lipat. “Sehari lebih dari seratus orang datang. Ada yang dari Depok dan Bekasi,” ungkap Tarsono.

Konsumen yang datang biasanya mereka yang baru membeli pakaian untuk lebaran. Karena ukurannya tidak pas, misalnya celana yang terlalu panjang, mereka minta dipendekkan. [fir/fu]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar