Sabtu, 21 April 2012

Penduduk Sulsel Gugat Belanda Soal Westerling


Setelah kasus Rawagede usai, giliran korban pembantaian keji pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling menggugat yang diwakili sembilan janda korban.

Inisiasi telah dilakukan, melalui Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan pengacara HAM, yang juga mendampingi korban Rawagede, Liesbeth Zegveld. Dukungan pun mengalir pada upaya tersebut, khususnya dari kalangan akademisi Sulawesi Selatan.


Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Arqam Azikin, menilai, tanpa upaya pencarian keadilan sebenarnya, Pemerintah Belanda harus meminta maaf kepada rakyat Sulawesi Selatan dan Indonesia. Pasalnya, Belanda pada tahun 1946 hingga 1947, telah nyata-nyata melakukan kekejaman kepada rakyat Sulsel.

Namun, dosen yang konsen di bidang politik, keamanan dan pertahanan ini tetap menghargai upaya sejumlah pihak untuk mencari keadilan di Belanda. “Tanpa pengadilan pun Belanda itu bersalah dan itu telah terbukti. Tapi jika memang ada keinginan seperti itu, tidak ada masalah,” ujar Arqam kepada VIVAnews, Kamis, 22 Desember 2011.-

Bagi Arqam, para janda korban harus memperjuangkan dua hal untuk mencari keadilan ke Belanda. Yakni permintaan maaf dari Pemerintah Belanda kepada rakyat Sulsel dan Indonesia, serta pengakuan kepada dunia internasional, jika Belanda memang telah melakukan pembantaian.

“Itu yang menjadi poin utama pencarian keadilan, karena pembantaian tersebut terlegitimasi di PBB. Jadi Belanda harus meminta maaf dan bukan dalam bentuk materi,” tegasnya.

Pembantaian Westerling terjadi pada Desember 1946 sampai Februari 1947, bermula saat Depot Speciale Troepen (123 pasukan) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling mendapat perintah untuk memulihkan kekuasaan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan.

Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh', Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.

Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk, sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.

Selama kurun waktu itu, pasukan Westerling membunuh ribuan orang. Penelitian yang dilakukan Belanda memperkirakan jumlah korban antara 3.000 hingga 5.000 orang. Sedangkan pihak Indonesia menyatakan 40.000 jiwa. Namun, Westerling sendiri berkilah, menyebut korban 'hanya' 600 jiwa.
"Mereka terutama membutuhkan pengakuan terhadap penderitaan yang dialami serta permintaan maaf," kata Liesbeth Zegveld seperti dikutip dari harian Trouw, dan dilansir situs Radio Nederland Siaran Indonesia, Selasa 20 Desember 2011.VIVAnews


Tidak ada komentar:

Posting Komentar