Sabtu, 21 April 2012

Ibu Berdaya yang Melawan Kemiskinan

HARI ibu yang diperingati setiap tahun lebih sering berakhir pada gegap gempitanya slogan di spanduk, iklan dan ucapan pejabat atau tokoh masyarakat. Upaya untuk menjadikan hari ibu hanya sebagai momen penguat kesadaran dan rasa syukur kita akan mulianya tugas ibu, sehingga sudah seharusnya mereka, para ibu ini diberi wujud bakti yang nyata malah sering terabaikan.


Tak hanya oleh anak, menantu, dan masyarakat umumnya, penghargaan, kemudahan dan beragam kebijakan pun nyatanya memang masih belum berpihak pada kaum ibu. Sebagai contoh, kredit bagi pengusaha kecil dan mikro belum banyak tersedia atau kalaupun tersedia sulit diakses dengan berbagai persyaratan birokrasi yang membelit. Padahal justru pengusaha kecil dan mikro yang umumnya rumahan ini banyak dikelola kaum ibu.

Begitu pula para ibu bekerja masih banyak yang dianggap sebagai lajang oleh perusahaan tempat bekerja, sehingga tidak mendapat tunjangan anak (apalagi suami!) termasuk dalam halreimburst biaya kesehatan meskipun misalnya suaminya tidak bekerja di perusahaan yang memberi jaminan kesehatan bagi keluarga.

Sementara itu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 telah menunjukkan bahwa jumlah perempuan berumur 10 tahun ke atas yang belum atau tidak pernah bersekolah adalah dua kali lipat dibanding laki-laki. Rendahnya tingkat pendidikan ini yang seringkali berpaut langsung dengan rendahnya ketrampilan, ditambah rendahnya kualitas kesehatan (bisa dilihat dari angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi yaitu 228 per 100 ribu kelahiran), kualitas gizi, kualitas tempat tinggal, air bersih dan sanitasi membuat para perempuan ini tumbuh menjadi kaum ibu Indonesia yang hidupnya terus menerus dibelit kemiskinan.

Tentu saja keluarga yang dibelit kemiskinan akan sulit menumbuhkembangkan generasi penerus yang sehat, cerdas, berdaya dan kaya-raya. Dan ibu yang miskin akan mempertegas keadaan ini karena merekalah yang mengandung, melahirkan dan memberikan sebagian besar waktu utamanya bagi tumbuh kembang anak-anak.

Program Pemberdayaan Ibu

Untuk meyakinkan diri kita agar Indonesia memiliki generasi masa depan yang sehat, cerdas, berdaya dan berjaya, kita perlu serius memberikan perhatian kepada nasib para perempuan agar mereka menjadi ibu yang sehat, cerdas, dan berdaya pula.

Negara sudah seharusnya memuliakan dan mengasihi para ibu tidak hanya lewat slogan indah di hari ibu tetapi dengan mengeluarkan kebijakan dan program-program unggulan yang memapu secara riil memberdayakan perempuan agar mereka bisa menjadi ibu yang sehat, cerdas dan berdaya hingga tidak hanya bisa memberi kebaikan bagi keluarganya tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakatnya.

Kredit usaha kecil dan mikro misalnya perlu lebih banyak disalurkan bagi perempuan-perempuan pengusaha terutama dari perempuan kepala keluarga miskin. Hambatan birokrasi dan administrasi yang memberatkan harus dipangkas agar akses para ibu pengusaha kecil dan mikro ini menjadi mudah.

Begitu pula dalam hal akses kesehatan dan gizi. Program jampersal harus disosialisasikan hingga ke tingkat RT/RW di seluruh pelosok tanah air. Sementara program posyando harus direvitalisasi karena inilah ujungtombak pengawalan dan perbaikan kesehatan keluarga berbasis masyarakat. Kader-kader posyandu yang turun ke setiap RT/RW untuk memberikan penyuluhan, bimbingan dan pelaksanaan teknis harus dibekali program yang praktis dan insentif yang cukup. Ini dimaksudkan agar mereka bisa melaksanakan kegiatan seperti pemantauan kesehatan balita dan ibu, pemberian makanan tambahan sehat bergizi dan penyuluhan kesehatan keluarga dengan kontinyu.

Ibu Berdaya Menolak Rokok

Satu hal lagi yang harus dilekatkan pada kaum ibu adalah program sosialisasi dampak negatif produk tembakau. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat Susenas BPS tahun 2006 mencatat belanja bulanan rokok pada keluarga termiskin Indonesia setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Jika dibandingkan dengan pengeluaran makanan bergizi, jumlah itu setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat untuk membeli telur dan susu.

Begitu pula hasil studi yang dilakukan oleh Richard D Semba dan rekannya pada tahun 2007 menemukan bahwa dari 175.859 rumah tangga miskin perkotaan di Indonesia yang diteliti sepanjang tahun 1999-2003, sebanyak 73,8 persen kepala keluarganya adalah perokok aktif, dengan pengeluaran mingguan untuk membeli rokok sebesar 22 persen. Hasil penelitian yang dipublikasikan pada Public Health Nutrition Journal edisi January 2007 ini telah menunjukkan betapa belanja rokok ternyata telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi dalam keluarga.

Padahal rokok jelas-jelas memberikan efek buruk yang nyata bagi kesehatan. Celakanya, efek buruk itu tak hanya melekat pada diri si perokok tetapi memberi dampak lebih buruk pada para perokok pasif yaitu mereka yang tidak merokok tepai terkena asap rokok si perokok. Dan dalam hal keluarga ini berarti para ibu dan anak-anak.

Program-program penyuluhan kesehatan dari Kementrian Kesehatan maupun program bina keluarga balita dan remaja dari BKKBN misalnya bisa memberikan pula sosialisasi bahaya rokok pada para ibu agar mereka bisa mendorong para suami atau orang dewasa lain yang merokok untuk berhenti merokok. Selain itu sosialisasi ini juga kita harapkan bisa menurunkan jumlah prevalensi perokok baru bila seorang ibu tidak lagi mendukung kegiatan merokok dan bahkan melarang anak-anak mereka untuk merokok.

Jadi, memperingati hari ibu untuk mengasihi dan berterima kasih kepada para ibu memang penting. Tetapi memberikan wujud kasih sayang, dukungan, bantuan, kemudahan dan kebijakan konkrit yang memihak para ibu untuk menjadi sehat, cerdas dan berdaya jauh lebih penting. -RMOL

* Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar