Ikrar Nusa Bhakti
Suatu barang busuk, meski divakum atau dibungkus dengan cara apa pun, pasti akan tercium juga akhirnya. Demikian juga kebohongan di pengadilan, meski di kemas dengan cara apa pun, pasti akan terungkap.
Cara pengadilan untuk mengungkap kebohongan tentunya makin canggih, bukan hanya melalui alat pendeteksi kebohongan, melainkan, terlebih lagi peralatan teknologi informasi yang digunakan pelaku.
Kita kadang heran, mengapa Angelina Sondakh, seorang yang amat terhormat, mantan Putri Indonesia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Demokrat, berasal dari keluarga yang amat terdidik dan beragama, dapat berbohong di pengadilan tindak pidana korupsi.
Padahal, sebagai saksi dalam kasus korupsi M. Nazaruddin, ia sudah disumpah. Ada yang berpendapat bahwa seharusnya Al-qur’an atau Injil diletakkan dari bagian depan kepala orang yang bersumpah dan bukan di belakang, sehingga orang takut untuk berdusta atau berbohong.
Akibat kebohongan yang dilakukan Angie, panggilan akrabnya, guyonan politik terkait Partai Demokrat, semakin membahana. Misalnya, iklan Partai Demokrat yang bersemboyan “Katakan tidak pada korupsi,” diplesetkan menjadi “Katakan tidak, pada(hal) korupsi!”
Citra Partai Demokrat pun semakin hari semakin menurun menuju titik nadir, sampai-sampai orang mengomentarinya dengan kalimat: “sesuatu yang meroket dengan cepat, akan menukik dengan cepat pula.”
Dari legenda masa lalu, sejak kecil kita memang tidak diajarkan untuk berusaha keras dan banting tulang untuk meraih cita-cita yang setinggi langit.
Seorang pakar pendidikan, Prof. Dr. Sutjipto, Dosen FIP Universitas Negeri Jakarta, dalam sebuah seminar di Jakarta mengatakan bahwa sejak kecil kita dicekoki oleh cerita-cerita bagaimana seseorang untuk meraih sesuatu menggunakan cara-cara yang instan/cepat tanpa usaha keras dan banting tulang.
Misalnya legenda mengenai Gunung Tangguban Perahu, di mana Sangkuriang yang jatuh cinta pada Dayang Sumbi yang adalah ibunya sendiri, diminta membuatkan perahu untuk sang ibu dalam waktu semalam.
Dayang Sumbi berharap bahwa Sangkuriang tak akan mampu mewujudkannya. Ternyata, dengan bantuan para jin dan siluman, Sangkuriang dapat membuat perahu tersebut.
Melihat gelagat tak baik itu, Dayang Sumbi lalu memohon kepada Dewata agar ayam berkokok sebagai tanda fajar tiba. Akibatnya, Sangkuriang marah dan menendang perahu tersebut, karena itu disebut Tangkuban Perahu.
Kisah yang serupa juga terjadi pada kisah Bandung Bondowoso dan Putri Lara Jonggrang dalam legenda Candi Perambanan. Bandung Bondowoso, dibantu jin dan siluman yang sudah membuat 999 candi dalam satu malam, harus kecewa karena Lara Jonggrang menggunakan kekuatan gaib agar ayam berkokok sebelum fajar tiba.
Akibatnya, Lara Jonggrang oleh Bandung Bondowoso dijadikan candi keseribu dalam kompleks tersebut.
Dalam peradaban modern, masih saja ada politisi atau pejabat kita yang menggunakan bantuan klenik atau kekuatan jin dan siluman agar dapat meraih kekuasaan.
Jangan heran kalau masih ada politisi atau pejabat kita yang pergi ke makam-makam yang dianggap keramat, bukan untuk ziarah atau mendoakan arwah orang yang sudah meninggal, melainkan meminta kekuatan kepada orang yang sudah mati itu agar diberikan kekuatan gaib. Cara-cara yang musyrik ini, percaya atau tidak, masih terjadi di Indonesia.
Kita memang terlalu terpatri pada legenda bagaimana meraih kekuasaan dan bukan mengenai bagaimana memelihara dan menjalankan kekuasaan secara apik.
Kalimat sakti Harold Laswell bahwa politik mempelajari tentang “Siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana,” begitu melekat. Ajaran Machiavelli mengenai politik yang menghalalkan segala cara, juga begitu mendarah daging.
Padahal, politik juga mengandung unsur hati nurani, etika, dan pemahaman atas amanat hati nurani rakyat.
Sebuah kekuasaan yang sudah rapuh tidak perlu digoyang ataupun dijatuhkan, karena ia akan jatuh dengan sendirinya. Biasanya kehancuran itu justru terjadi dari dalam kekuasaan itu sendiri.
Jika kekuasaan itu tidak menyadari telah timbulnya ketidakpercayaan rakyat pada dirinya dan tidak berupaya untuk merenovasi pilar-pilar kekuasaannya yang sudah mulai lapuk, cepat atau lambat kekuasaan itu akan runtuh.
Apa yang terjadi di Partai Demokrat adalah lapuknya kekuasaan politik akibat ulah dari segelintir elite politiknya yang ingin cepat berkuasa dan kaya dalam waktu sekejap.
Tanpa adanya kerja keras para elite dan anggota partai, bukan mustahil akan sangat sulit bagi Partai Demokrat untuk bangkit kembali.
Anehnya, beberapa elite partainya malah sibuk mempersiapkan siapa yang akan menjadi calon presiden dari partai ini dan bukan bagaimana menyelamatkan kapal yang akan tenggelam itu. Inilah anomali politik di negeri ini.[mor]/Inilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar